ALT_IMG

Hobby Membaca ??

Seringkali saya ditanya, apa hobi anda? paling mudah saya jawab, membaca! tapi akhir2 ini saya merasa ga enak hati kalau mengingatnya. Sebenarnya apa ukuran sesuatu disebut sebagai hobby?Readmore...

ALT_IMG

menatap cakrawala

Salah satu hal yang paling menyenangkan dan mendamaikan adalah melihat cakrawala, saat dimana pandangan hanya dibatasi garis tipis lurus diujung sana yang disebut cakrawala Readmore..

Alt img

Bersemilah Ramadhan

Romadhon adalah nikmat yang luar biasa bagi siapa yang menemuinya, maka sudahkah anda bersyukur atas nikmat tersebut dan menggunakannya sebaik mungkin?Readmore...

ALT_IMG

Kepolosan yang Mendamaikan

Siapapun tidak cuma saya pasti akan senang jika melihat anak kecil, berbagai tingkah lakunya bisa membuat tertawa, tahukah anda kenapa bisa seperti itu Readmore...

ALT_IMG

Featured 5

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat. Ut wisi enim ad minim veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit lobortis nisl ut aliquip ex ea commodo consequat Readmore...

23.8.13

Masa Depan yang Tidak Pasti

0 komentar
Apabila sesuatu tdk pasti berarti segalanya mungkin. Setiap kali ada kesempatan gagal, jgn kecil hati karena berarti itu ada kesempatan berhasil
Hanya kita yg harus berperilaku yg membuat kita lebih mungkin berhasil drpd gagal.
Kita tidak berhak meminta air seember untuk langsung dicurahkan ke kita , jika kita hanya mempunyai sebuah gelas kecil.
Ada banyak org masa depannya tdk pasti krn tdk menyediakan sesuatu yg pantas mjd tempat dicurahkannya berkah.

Continue reading →
20.6.13

Stop Playing Small

0 komentar
Kenapa disebut "main", kalau hidup kita ini digunakan untuk melakukan sesuatu yang kecil, itu main-main. Karena tidak ada orang yang dilahirkan dengan rencana kecil, karena hidup kita ini penting, jangan digunakan untuk melakukan hal-hal kecil. Orang yang bermain kecil tidak akan damai tentang masa depan, jadi karena hidup kita penting, bangun rasa percaya diri bahwa pekerjaan kita berguna bagi orang lain.

Banyak orang menggunakan hidupnya yang penting ini untuk melakukan hal-hal kecil, alasan kenapa dia stress tentang masa depan, karena dia tidak bisa menghubungkan yang dikerjakannya sekarang dengan besarnya cita-citanya. Tidak mungkin ada hasil besar di dalam pekerjaan-pekerjaan kecil, kecuali, semua hasil besar dicapai melalui pekerjaan kecil yang berurutan dan ditenagai oleh kesungguhan besar, karena tidak ada pekerjaan yang besar yang bisa membesarkan orang yang kesungguhannya kecil.

Kita memiliki kecenderungan untuk memusatkan perhatian pada kemungkinan buruk walau kecil, yang besar penting diabaikan untuk memperhatikan kekhawatiran yang kecil.
kalau ada sesuatu yang kita khawatirkan dan bisa kita kerjakan sesuatu untuk menghilangkan kekhawatiran tersebut maka kerjakanlah, lalu jangan khawatir lagi. kalau ada sesuatu yang mengkhawatirkan kita yang tidak berubah walaupun kita lakukan apapun, berhentilah khawatir, karena tidak ada yang bisa anda lakukan untuk mengubahnya.

Kalau kita melihat hidup kita ini besar dan kita sedang tumbuh menjadi pemeran bagi kebaikan orang lain anda tidak akan sibuk mengenai hak untuk berhasil, mengenai kemungkinan gagal atau berhasil anda tidak akan sibuk mempertimbangkan ramalan orang lain tapi anda akan sibuk meningkatkan kemampuan kita diri kita hari per hari. Orang yang utun (kata orang jawa) yang sabar yang ajeg yang sampai. Jadi kalau begitu, lakukanlah hal-hal kecil asal berurut dan teratur ditenagai dengan kesungguhan besar, tahu tahu Allah akan mengabulkan keinginan anda, karena kita tidak lagi bermain-main denga kehidupan kita, pilihkan yang dampaknya besar bagi kebaikan orang lain di dalam pekerjaan anda lalu perhatikan apa yang terjadi..
Continue reading →
29.1.13

Tawakallah seperti Seekor Burung

0 komentar
Anda pernah melihat lumbung padi? Atau paling kurang gudang beras milik bulog?
Anda pernah melihat gudang makanan?

Subhanallah, berbagai jenis makanan dan kebutuhan manusia kini banyak memiliki gudang penyimnanannya. Bahkan gudang untuk menyimpan stok makanan hingga beberapa bulan lamanya.
Namun pernahkah anda menemukan seekor burung yang memiliki gudang untuk menyimpan makanannya?
 

Walau demikian, adakah anda menemukan burung yg membuka layanan konsultasi bg orang yg mengalami gangguan jiwa? Atau pernahkah anda menemukan rumah sakit jiwa bagi burung2 yg jatuh bangkrut atau pailit?
 

Setiap burung di pagi hari berkicau riang walau mrk sdng lapar, menggambarkan optimisme yg tinggi, dan di sore haru juga demikian, semuanya riang krn tlh kenyang.

لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
 

Andai kalian benar2 bertawakkal kepada Allah niscaya Allah melimpahkan rizqi kpd kalian, sebagaimana Allah melimpahkan rizki kpd burung2 yg setiap pagi keluar dr sangkarnya dlm kondisi lapar dan di sore hari pulang dlm kondisi kenyang. ( ahmad dll)

*status terbaru http://www.facebook.com/muhammadarifin.badri/
Continue reading →
5.11.12

Kesalahan dalam menjawab ucapan 'jazakallah khairan'

0 komentar
jazakallahu khoir
Banyak orang yang sering mengucapkan "waiyyak (dan kepadamu juga)" atau “waiyyakum (dan kepada kalian juga)” ketika telah dido'akan atau mendapat kebaikan dari seseorang. Apakah ada sunnahnya mengucapkan seperti ini? Lalu bagaimanakah ucapan yang sebenarnya ketika seseorang telah mendapat kebaikan dari orang lain misalnya ucapan "jazakallah khair atau barakalahu fiikum"?

Berikut fatwa Ulama yang berkaitan dengan ucapan tersebut:

Asy Syaikh Muhammad 'Umar Baazmool, pengajar di Universitas Ummul Quraa Mekah, ditanya: Beberapa orang sering mengatakan "Amiin, waiyyaak" (yang artinya "Amiin, dan kepadamu juga") setelah seseorang mengucapkan "Jazakallahu khairan" (yang berarti "semoga ALLAH membalas kebaikanmu"). Apakah merupakan suatu keharusan untuk membalas dengan perkataan ini setiap saat?

Beliau menjawab:
Ada banyak riwayat dari sahabat dan dari Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam, dan ada riwayat yang menjelaskan tindakan ulama. Dalam riwayat mereka yang mengatakan "Jazakalahu khairan," tidak ada yang menyebutkan bahwa mereka secara khusus membalas dengan perkataan "wa iyyaakum."

Karena ini, mereka yang berpegang pada perkataan "wa iyyaakum," setelah doa apapun, dan tidak berkata "Jazakallahu khairan," mereka telah jatuh ke dalam suatu yang baru yang telah ditambahkan (untuk agama).

Al-Allamah Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah Ta’ala ditanya: apakah ada dalil bahwa ketika membalasnya dengan mengucapkan “wa iyyakum” (dan kepadamu juga)?

Beliau menjawab:
“tidak ada dalilnya, sepantasnya dia juga mengatakan “jazakallahu khair” (semoga Allah membalasmu kebaikan pula), yaitu dido'akan sebagaimana dia berdo’a, meskipun perkataan seperti “wa iyyakum” sebagai athaf (mengikuti) ucapan “jazaakum”, yaitu ucapan “wa iyyakum” bermakna “sebagaimana kami mendapat kebaikan, juga kalian” ,namun jika dia mengatakan “jazakalallahu khair” dan menyebut do’a tersebut secara nash, tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih utama dan lebih afdhal.”

Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi ditanya: Apa hukumnya mengucapkan, “Syukran (terimakasih)” bagi seseorang yang telah berbuat baik kepada kita?

Beliau menjawab:
Yang melakukan hal tersebut sudah meninggalkan perkara yang lebih utama, yaitu mengatakan, “Jazaakallahu khairan (semoga ALLAH membalas kebaikanmu.” Dan pada Allah-lah terdapat kemenangan.

Menjawab dengan "Wafiika barakallah".
Apabila ada seseorang yang telah mengucapkan do'a "Barakallahu fiikum atau Barakallahu fiika" kepada kita, maka kita menjawabnya: "Wafiika barakallah" (Semoga Allah juga melimpahkan berkah kepadamu) (lihat Ibnu Sunni hal. 138, no. 278, lihat Al-Waabilush Shayyib Ibnil Qayyim, hal. 304. Tahqiq Muhammad Uyun)

Menjawab dengan "jazakallahu khair".
Ada satu hadits yang menjelaskan sunnahnya mengucapkan "jazakallahu khairan", dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang diberikan satu perbuatan kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan : jazaakallahu khair (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.” (HR.At-Tirmidzi (2035), An-Nasaai dalam Al-kubra (6/53), Al-Maqdisi dalam Al-mukhtarah: 4/1321, Ibnu Hibban: 3413, Al-Bazzar dalam musnadnya:7/54. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)

Ada beberapa ketentuan dalam mengucapkan jazakallah:
- jazakallahu khairan (engkau, lelaki)
- jazakillahu khairan (engkau, perempuan)
- jazakumullahu khairan (kamu sekalian)
- jazahumullahu khairan (mereka)

Fatwa ulama seputar ucapan "jazakallah":

Al-Allamah Asy Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah ditanya:
sebagian ikhwan ada yang menambah pada ucapannya dengan mengatakan "jazakallah khaeran wa zawwajaka bikran" (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan menikahkanmu dengan seorang perawan), dan yang semisalnya. Bukankah tambahan ini merupakan penambahan dari sabda Rasul shallallahu alaihi wasallam, dimana beliau mengatakan "sungguh dia telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.?

Beliau menjawab:
Tidak perlu (penambahan) doa seperti ini, sebab boleh jadi (orang yang didoakan) tidak menginginkan do'a yang disebut ini. Boleh jadi orang yang dido'akan dengan do'a ini tidak menghendakinya. Seseorang mendoakan kebaikan, dan setiap kebaikan sudah mencakup dalam keumuman doa ini. Namun jika seseorang menyebutkan do'a ini, bukan berarti bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melarang untuk menambah dari do'a tersebut. Namun beliau hanya mengabarkan bahwa ucapan ini telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya. Namun seandainya jia dia mendoakan dan berkata: “jazakallahu khaer wabarakallahu fiik wa ‘awwadhaka khaeran” (semoga Allah membalas kebaikanmu dan senantiasa memberkahimu dan menggantimu dengan kebaikan pula” maka hal ini tidak mengapa. Sebab Rasul Shallallahu alaihi wasallam tidak melarang adanya tambahan do’a. Namun tambahan do’a yang mungkin saja tidak pada tempatnya, boleh jadi yang dido’akan dengan do’a tersebut tidak menghendaki apa yang disebut dalam do’a itu.

Al-Allamah Asy Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah ditanya:
Ada sebagian orang berkata: ada sebagian pula yang menambah tatkala berdo’a dengan mengatakan : jazaakallahu alfa khaer” (semoga Allah membalasmu dengan seribu kebaikan” ?

Beliau -hafidzahullah- menjawab:
“Demi Allah, kebaikan itu tidak ada batasnya, sedangkan kata seribu itu terbatas, sementara kebaikan tidak ada batasnya. Ini seperti ungkapan sebagian orang “beribu-ribu terima kasih”, seperti ungkapan mereka ini. Namun ungkapan yang disebutkan dalam hadits ini bersifat umum.” (transkrip dari kaset: durus syarah sunan At-Tirmidzi,oleh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzahullah, kitab Al-Birr wa Ash-Shilah, nomor hadits: 222)

Kesimpulan:
Ucapan "Waiyyak" secara harfiah artinya "dan kepadamu juga". Ini adalah bentuk do'a `yang walaupun ulama kita tidak menemukan itu sebagai sunnah. Dalam kasus manapun, namun tidak ada ulama yang melarang berdo'a dengan selain ucapan "Jazakumullah khairan" dengan syarat tidak boleh menganggapnya merupakan bagian dari sunnah. Namun untuk lebih afdholnya kita ucapkan "jazakalla khair", inilah sunnahnya.

Ada satu kaidah ushul fiqih yang dengan ini mudah-mudahan kita bisa terhindar dari bid'ah dan kesalahan-kesalahan dalam beramal atau beribadah.

Al-Imam Al-Bukhari (dalam kitab Al-Ilmu) beliau berkata, "Ilmu itu sebelum berkata dan beramal". Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19).

Dari ayat yang mulia ini, Allah ta’ala memulai dengan ilmu sebelum seseorang mengucapkan syahadat, padahal syahadat adalah perkara pertama yang dilakukan seorang muslim ketika ia ingin menjadi seorang muslim, akan tetapi Allah mendahului syahadat tersebut dengan ilmu, hendaknya kita berilmu dahulu sebelum mengucapkan syahadat, kalau pada kalimat syahadat saja Allah berfirman seperti ini maka bagaimana dengan amalan lainnya? Tentunya lebih pantas lagi kita berilmu baru kemudian mengamalkannya. Kita tidak boleh asal ikut-ikutan orang lain tanpa dasar ilmu, seseorang sebelum berbuat sesuatu harus mengetahui dengan benar dalil-dalilnya.

Muraja':
- sunniforum.com/forum/showthread.php?t=3105
- darussalaf.or.id/stories.php?id=1520
- Hisnul Muslim, Syaikh Said bin Ali Al Qathani

Semoga bermanfaat, Wallahu ta'ala a'lam bissowab.

sumber: http://junkohitachimi.multiply.com/journal/item/29?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

Continue reading →
24.8.12

Setelah Ramadhan Meninggalkan Kita

0 komentar

Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu, dan bulan Ramadhan yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan berlalu sudah. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang celaka karena tidak mendapatkan pengampunan dari Allah selama bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam doa yang diucapkan oleh malaikat Jibril dan diamini oleh Rasulullah: “Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah)”[1].

Salah seorang ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang tidak diampuni dosa-dosanya di bulan Ramadhan maka tidak akan diampuni dosa-dosanya di bulan-bulan lainnya”[2].

Oleh karena itu, mohonlah dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar Dia menerima amal kebaikan kita di bulan yang penuh berkah ini dan mengabulkan segala doa dan permohonan ampun kita kepada-Nya, sebagaimana sebelum datangnya bulan Ramadhan kita berdoa kepada-Nya agar Dia mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan hati kita kita dipenuhi dengan keimanan dan pengharapan akan ridha-Nya. Imam Mu’alla bin al-Fadhl berkata: “Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima (amal-amal shaleh) yang mereka (kerjakan)”[3].

Lalu muncul satu pertanyaan besar dengan sendirinya:

Apa yang tertinggal dalam diri kita setelah Ramadhan berlalu? Bekas-bekas kebaikan apa yang terlihat pada diri kita setelah keluar dari madrasah bulan puasa?

Apakah bekas-bekas itu hilang seiring dengan berlalunya bulan itu? Apakah amal-amal kebaikan yang terbiasa kita kerjakan di bulan itu pudar setelah puasa berakhir?

Jawabannya ada pada kisah berikut ini:

Imam Bisyr bin al-Harits al-Hafi pernah ditanya tentang orang-orang yang (hanya) rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadhan, maka beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang sangat buruk, (karena) mereka tidak mengenal hak Allah kecuali hanya di bulan Ramadhan, (hamba Allah) yang shaleh adalah orang yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh”[4].

Demi Allah, inilah hamba Allah yang sejati, yang selalu menjadi hamba-Nya di setiap tempat dan waktu, bukan hanya di waktu dan tempat tertentu.

Imam asy-Syibli pernah ditanya: Mana yang lebih utama, bulan Rajab atau bulan Sya’ban? Maka beliau menjawab: “Jadilah kamu seorang Rabbani (hamba Allah yang selalu beribadah kepada-Nya di setiap waktu dan tempat), dan janganlah kamu menjadi seorang Sya’bani (orang yang hanya beribadah kepada-Nya di bulan Sya’ban atau bulan tertentu lainnya)”[5].

Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah di bulan Ramadhan, bukankah kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya? Bukankah kita semua termasuk dalam firman-Nya:

{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد}

“Hai manusia, kalian semua butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).

Inilah makna istiqamah yang sesungguhnya dan inilah pertanda diterimanya amal shaleh seorang hamba. Imam Ibnu Rajab berkata: “Sesungguhnya Allah jika Dia menerima amal (kebaikan) seorang hamba maka Dia akan memberi taufik kepada hamba-Nya tersebut untuk beramal shaleh setelahnya, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka (ulama salaf): Ganjaran perbuatan baik adalah (taufik dari Allah untuk melakukan) perbuatan baik setelahnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang pertama (oleh Allah), sebagaimana barangsiapa yang mengerjakan amal kebakan, lalu dia dia mengerjakan perbuatan buruk (setelahnya), maka itu merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal kebaikan tersebut”[6].

Oleh karena itulah, Allah mensyariatkan puasa enam hari di bulan Syawwal, yangkeutamannya sangat besar yaitu menjadikan puasa Ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawwal pahalanya seperti puasa setahun penuh, sebagaimana sabda Rasululah: “Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh”[7].

Di samping itu juga untuk tujuan memenuhi keinginan hamba-hamba-Nya yang shaleh dan selalu rindu untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan puasa dan ibadah-ibadah lainnya, karena mereka adalah orang-orang yang merasa gembira dengan mengerjakan ibadah puasa. Rasulullah bersabda: “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah”[8].

Inilah bentuk amal kebaikan yang paling dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.

Rasulullah Sholallohu'alaihi wasallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah I adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit”[9].

Ummul mu’minin ‘Aisyah berkata: “Rasulullah jika mengerjakan suatu amal (kebaikan) maka beliau akan menetapinya”[10].

Inilah makna istiqamah setelah bulan Ramadhan, inilah tanda diterimanya amal-amal kebaikan kita di bulan yang berkah itu, maka silahkan menilai diri kita sendiri, apakah kita termasuk orang-orang yang beruntung dan diterima amal kebaikannya atau malah sebaliknya.

{فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ}

“Maka ambillah pelajaran (dari semua ini), wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat” (QS al-Hasyr: 2).

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 6 Ramadhan 1433 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] HR Ahmad (2/254), al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” (no. 644), Ibnu Hibban (no. 907) dan al-Hakim (4/170), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani.
[2] Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 297).
[3] Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 174).
[4] Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 313).
[5] Ibid.
[6] Kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 311).
[7] HSR Muslim (no. 1164).
[8] HSR al-Bukhari (no. 7054) dan Muslim (no. 1151).
[9] HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).
[10] HSR Muslim (no. 746).
Continue reading →